Hari itu saya mendengar
kabar, Bulik mauk RS karena pendarahan di hidung dan mulut. Berkelebat dalam benakku bayangan paklik, suami bulikku ini
yang meninggal setelah pingsan selama dua hari, saya bergegas meluncur ke
sebuah RS swasta di Jogja.
“Tensinya 230/120mmHg....”
sepupuku, anak bulik menyambutku dengan kabar keadaan bulik saat masuk RS.
Sekarang kondisi bulik sudah lebih baik.
Kuingat dulu paklik koma,
tensinya 230/130mmHg. Paklik sedang menunaikan sholat sunat qobla dhuhur di
masjid, saat sujud rekaan kedua, beliau tidak bisa bangkit lagi. Pingsan. Dua
hari kemudian meninggal tanpa sempat tersadar lagi.
Hypertensi!
Saya tertegun. Apakah saya
tengah melihat gambaran kesudahanku.
Sejak dua tahun yang lalu, saya
baru menyadari tentang calon pendamping hidup baru yang bernama hypertensi ini.
Saat itu cek up untuk keberangkatan haji. Sebelumnya tidak pernah ada keluhan.
Sejak itu, hypertensi hadir fluktuatif mengikuti ritme kecapekan. Berbagai suplemen yang
disarankan orang, kucoba. Pertama untuk menyenangkan yang menawari, kedua
memang banyak yang gratisan hehe...dasar penggemar ratuku (ratuku=gratisan), ketiga, namanya juga usaha...bismillah.
Terkadang memang berhasil,
hingga berbulan-bulan saya stabil pada 130/80mmhg. Namun akhir-akhir ini kok
mental. Sepertinya suplemen saja tak cukup. Hmm tensi sekarang berkisar sistol
masih nangkring di 150. Kadang malah jadi 160. Diastol masih nangkring juga di
100 atau 110. Kadang gak tahu diri jadi 120.
Hmm....
Tahun 2013 hampir berakhir
dan saya ingin punya paradigma baru tentang status pertemananku dengan
hypertensi. So, saya susun rencana strategi, bukan perang melawan hypertensi,
tapi berdamai dengan hypertensi.
Kuingat nasehat dokter
spesialis tempat salah satu tempat konsulku.
“Jika sudah menderita
hypertensi, itu seperti halnya orang yang kena diabet. Harus diterima bahwa
demikianlah keadaannya, jadi harus bisa berdamai hidup berdampingan...”
Whoii...okelah pak dokter,
saya akan menerima kehadirannya menemani penggal kehidupanku.